Rupiah menjadi mata uang berkinerja paling bagus dalam tiga tahun terakhir ini. Pada periode Januari 2008-April 2011, rupiah terapresiasi (menguat) 28 persen, paling tinggi dibanding dengan won Korea 22 persen, ringgit Malaysia 17 persen, dollar Singapura 16 persen, peso Filipina 10 persen, atau pun yuan China 4 persen.
Terdapat beberapa faktor, baik eksternal atau pun internal yang mendorong terjadinya apresiasi rupiah. Pertama, pemulihan perekonomian AS dipandang masih sangat volatile, sebagaimana terindikasi dari lambatnya penurunan penganggguran dari 9,8 persen (Januari 2010) menjadi 8,8 persen (April 2011).Hal ini memaksa the Fed (Bank Sentral AS) mematok dan menahan suku bunga rendah pada level 0,25 persen. Selain itu, the Fed memberikan sinyal untuk tetap menerapkan kebijakan stimulus dalam skema quantitative easing senilai 600 miliar dollar AS. Dua kebijakan itu membuat suplai USD di pasar bertambah banyak dan nilainya terhadap rupiah (dan beberapa mata uang lainnya) mengalami penurunan.
Kedua, proses pemulihan perekonomian AS membuat permintaan di negara itu terhadap produk-produk yang dihasilkan negara lain mengalami peningkatan cukup signifikan.
Ketiga, suku bunga acuan yang ditetapkan BI (BI Rate) sebesar 6,75 persen lebih tinggi dibanding dengan suku bunga di beberapa negara kompetitor, seperti Malaysia (2,75 persen), Thailand (2,75 persen), dan China (3,25 persen). Hal ini membuat pasar keuangan Indonesia relatif lebih menarik daripada pasar keuangan di beberapa negara tersebut. Menariknya, pasar keuangan membuat arus dana asing (capital inflow) yang meminta rupiah mengalir deras ke negeri ini.
Keempat, agresifnya pemerintah dan perusahaan menerbitkan obligasi membuat permintaan USD terhadap rupiah mengalami peningkatan.Tingginya permintaan terhadap obligasi ini membuat nilai rupiah terkerek naik ke atas.
Berkah dan Masalah
Penguatan rupiah bisa menimbulkan berkah dan masalah bagi perekonomian Indonesia. Dalam kaitan dengan berkah, beberapa hal yang kemungkinan bisa dinikmati perekonomian Indonesia adalah. Pertama, dalam APBN 2011, pemerintah mengalokasikan 38,6 persen dari belanjanya (301,2 triliun rupiah) untuk bayar utang (dalam dan luar negeri) dan subsidi. Beberapa komoditas yang disubsidi (BBM) harus diimpor dari luar negeri. Karena itu, penguatan rupiah akan membuat kewajiban bayar utang (dari luar negeri) dan anggaran subsidi mengalami penurunan.Tidak mengherankan bila muncul prediksi bahwa setiap rupiah menguat 100 rupiah, maka belanja negara akan bisa dihemat sebesar 400 miliar rupiah.
Kedua, penguatan rupiah mengurangi tekanan infl asi yang berasal dari imported infl ation. Penurunan infl asi year-on-year dari 6,65 persen (Maret 2011) menjadi 6,16 persen (April 2011) sedikit banyak dipengaruhi apresiasi rupiah. Karena itu, BI memunyai sedikit ruang untuk tidak menaikkan BI Rate yang bisa bersifat kontraproduktif terhadap bunga kredit yang dibutuhkan sektor riil.
Ketiga, apresiasi rupiah juga memberikan keuntungan bagi importir. Jika barang-barang yang diimpor itu merupakan barang modal (mesin dan peralatan) dan bahan baku (gandum), maka kapasitas produksi perekonomian bisa ditingkatkan karena biaya produksi yang harus dikeluarkan secara relatif akan menjadi lebih murah.
Namun demikian, apresiasi rupiah juga berpotensi membawa masalah bagi perekonomian, utamanya pada sisi neraca perdagangan.Artinya, di satu sisi, industri dengan orientasi ekspor, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, dan elektronik, adalah mereka yang akan mendapatkan masalah dari terjadinya penguatan rupiah. Secara relatif, produk-produk mereka di pasar ekspor akan menjadi lebih mahal sehingga berpotensi menekan pendapatan (dalam rupiah) mereka.
Selain itu, produk-produk ekspor Indonesia akan mendapatkan persaingan (dari sisi harga) yang lebih ketat dari produk yang berasal dari negara dengan apresiasi mata uang lebih rendah dari rupiah, seperti Malaysia, Thailand, dan China.Untuk itu, dibutuhkan kreativitas dan inovasi untuk meningkatkan kualitas produk. Tanpa adanya peningkatan kualitas, dengan harga yang relatif menjadi lebih mahal, boleh jadi produk-produk ekspor Indonesia tidak akan mampu mempertahankan posisinya di beberapa negara tujuan ekspor.
Di sisi yang lain, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, penguatan rupiah akan meningkatkan intensitas penetrasi produk-produk impor.Kondisi seperti ini akan membuat industri penghasil barang-barang konsumsi dengan orientasi pasar domestik akan mendapatkan persaingan yang lebih ketat dari barang-barang konsumsi impor.
Pada gilirannya, penurunan ekspor dan peningkatan impor ini akan menekan neraca perdagangan. Laporan BPS (2/5) yang menunjukkan terjadinya penurunan surplus perdagangan dari 2,4 dollar AS pada Februari menjadi 1,81 miliar dollar AS pada Maret 2011 boleh jadi merupakan akibat dari semakin kuatnya nilai tukar rupiah.
Beranjak dari analisis bahwa apresiasi rupiah membawa berkah sekaligus masalah, BI tampaknya perlu lebih proaktif memonitor dan mengawal penguatan rupiah. Dalam kaitan ini, ada baiknya BI memiliki batas toleransi sampai pada level berapa rupiah boleh mengalami apresiasi.
Pada kondisi ketika batas toleransi itu sudah terlewati, BI perlu melakukan intervensi, meskipun dengan konsekuensi mengeluarkan biaya moneter yang tidak murah. Secara psikologis, intervensi yang dilakukan BI ini akan menambah keyakinan pelaku usaha bahwa mereka tidak dibiarkan berjuang sendirian, sesuatu yang sudah sangat jarang dirasakan pelaku usaha akhir-akhir ini.
Penulis adalah Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI.
Oleh : Latif Adam
Sumber: koran Jakarta (5/5/2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon berkomentar dengan baik dan sopan. Komentar bernada spam akan saya hapus