Di tahun-tahun awal kekuasaan VOC, keputusan hukum dilakukan oleh Gubernur Jendral dan Dewan Pemerintahan. Karena semakin hari tugas mereka semakin banyak, maka mulai 1620 tugas tersebut diwakilkan kepada Dewan Pengadilan.
Namun pemerintah pusat masih memegang hak untuk memberikan grasi. Eksekusi hukuman mati juga hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemerintah pusat.
Sayangnya pengetahuan Dewan Pengadilan tentang hukum dianggap masih kurang. Untuk itu berkali-kali tenaga dari Belanda dikirim ke sini. Baru setelah 1656 hampir semua anggota Dewan Pengadilan adalah ahli hukum. Dewan ini bertugas menangani semua persoalan kriminal dan sipil di Batavia.
Setelah itu hukum menjadi ketat. Bukan hanya perkara pencemaran nama baik juga kena hukum. Bentuk hukumannya dengan memasukkan terdakwa ke kerangkeng besi, lalu dipajang di depan Gedung Balaikota.
Buat terdakwa militer, dia harus duduk berjam-jam di atas ”kuda kayu”, yakni sebuah rak kayu dengan permukaan yang tajam. Sementara dia duduk kaki-kakinya dipasangi pemberat. Tentu saja malunya itu luar biasa, jadi obyek tontonan banyak orang sambil diledek ”mau ke mana nih” atau ”tolong antarkan surat ini yah”.
Hukuman yang lebih berat untuk tentara adalah ”ayunan”. Terdakwa diikat pada kaki dan tangan lalu ditarik ke atas. Dari atas dia dibiarkan jatuh bak pemain sirkus namun tidak sampai menyentuh lantai.
Pada abad ke-17 dan ke-18 belum ada hukuman penjara, dalam arti harus menempati sebuah sel selama jangka waktu tertentu. Namun sejak 1641 sudah terdapat penjara bagi wanita, yang antara lain melakukan prostitusi, bertengkar dengan pasangan, dan berbuat keji terhadap budak. Mereka dikurung dan diwajibkan memintal benang untuk biaya hidup mereka.
Hukuman yang paling umum bagi orang Eropa dan Asia adalah siksaan dan kerja paksa dengan dirantai selama beberapa bulan sampai 10 tahun. Hukuman tambahan adalah ”cap badan” sebagai tanda bagi polisi untuk mendeteksi para residivis sampai potong kuping.
Mereka yang mendapat kerja paksa biasanya ditugaskan mengeruk kanal-kanal atau bekerja di pabrik pembuatan tali-temali. Pada 1705 kamp tahanan kerja paksa dipindahkan ke Pulau Edam (Damar). Sampai 1795 kamp ini masih berdiri dan kemudian dikosongkan karena khawatir serangan Inggris.
Hukuman lain adalah pengasingan ke Maluku, daerah yang waktu itu berbahaya bagi kesehatan. Tempat pengasingan lain adalah Ceylon (Srilanka) dan Afrika Selatan.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon berkomentar dengan baik dan sopan. Komentar bernada spam akan saya hapus